Tulisan ini sebenarnya berawal dari kegelisahan akademik penulis kaitanya dengan PILKADA Provinsi Banten yang mana dalam debat kandidat PILKADA Banten Cawagub Provinsi Banten Dimyati Natakusumah menyindir penantangnya yang notabene seorang Cagub dari kaum perempuan yaitu Airin Rahmi Diany.
Cawagub yang berpasangan dengan Andra Soni tersebut menuturkan bahwasanya perempuan jangan diberi beban berat sebagai pemimpin. Di sisi lain kita sama tahu bahwasanya di Pilgub Jawa Timur sosok Cagub justru berasal dari tiga srikandi yang notabene seorang perempuan. Sebut saja seperti Tri Rismaharini, Khofifah Indar Parawansa dan Luluk Nurhamidah.
Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan dalam kancah social politik, berikut ulasanya.
Perempuan mendapatkan derajat yang amat terhormat dalam Dunia Islam, kodrat serta naluri perempuan yang memiliki naluri keibuan untuk mendambakan seorang anak dalam hal menyalurkan rasa keibuanya tersebut.

Namun perlu digaris bawahi pula untuk tidak berlaku kasar ataupun semena-mena terhadap anak-anaknya, sebagaimana Rasulullah SAW menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar dikarenakan seorang anak pipis dan membasahi pakaian perempuan tersebut. 1
Namun lebih dari hal yang disebutkan di atas bahwasanya peran sentral seorang perempuan tidak hanya menjurus pada hal keibuan saja, Perempuanpun berhak menjadi seorang pemimpin layaknya seorang laki-laki. Hal tersebut sebagaimana HAMKA jelaskan kaitanya dengan penjelasan al-Qur’an surah An-Nissa ayat 34 berikut:
Kaum laiki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat pada Allah SWT lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah SWT telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi maha besar.
Kaitanya dengan ayat di atas HAMKA menjelaskan bahwasanya laki-laki memilki tugas memimpin perempuan akan tetapi menurut HAMKA pangkal ayat di atas bukan bersifat perintah, namun hanya penggambaran semata, yaitu menyatakan hal yang sewajarnya saja bahwa laki-laki mempunyai kelebihan aspek fisik sehingga bukan berarti laki-laki wajib memimpin perempuan sehingga apabila tidak di pimpin laki-laki lalu dianggap berdosa.2
Lebih jelas serta tegas lagi HAMKA mengungkapkan bahwasanya dalam beberapa hal serta masalah bukan hanya laki-laki yang memimpin perempuan, namun lebih dari itu perempuan juga memimpin laki-laki.
3 Kaitanya dengan hal tersebut HAMKA memberikan
urainya yang mana dicontohkan pada kisah anekdot seorang Ratu Victoria dari Inggris dan suaminya yang bernama pangeran Albert.
Diceritakan suatu waktu Ratu Victoria lupa akan kedudukanya sebagai seorang istri di rumah suaminya dikarenakan terbawa nuansa dan suasana dirinya kala bertugas sebagai Raja di Istana. Sontak, suaminya pun berkata sembari mengingatkan isterinya, ‘’Diluar engkau memang seorang Raja. Namun dalam ruangan ini aku adalah suamimu’’. Semenjak itulah Ratu Victoria mebedakan tugas dirinya sebagai Raja sesaat memimpin dan posisinya selaku istri yang harus patuh serta taat pada suaminya apabila berada di rumahnya.4
Sementara itu, dari aspek sejarah historis turunya terang dan jelas bahwasanya ayat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki dalam ranah rumah tangga, selain itu, ayat tersebut juga membahas perihal penyelesaian sengketa nusyuz, yang dilakukan isteri kepada suaminya. Kemudian dari konteks kalimat juga terdapat setidaknya dua indikasi kuat. Pertama kepemimpinan laki-laki dalam konteks berumah tangga dalam konteks kewajiban suami kepada istrinya dalam hal pemberian nafkah. Kedua, Perilah Nusyuznya isteri terhadap perintah suami dalam hal perintah kebaikan serta bagaimana seharusnya suami menyikapinya. Dua hal tersebut berindikator kuat bahwasanya kalimat arrijal dan an-nissa pada ayat tersebut adalah suami isteri.5
Sementara itu, terdapat kisah yang menggambarkan seorang perempuan yang belum cakap memimpin lalu diangkat menjadi seorang pemimpin dikarenakan suksesi kepala daerah, yang mana sosok perempuan tersebut bernama Buwaran Binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz, yang mana puteri seorang raja yang merupakan ayahnya sendiri yang meninggal akibat pembunuhan suksesi perebutan kepala daerah dan adik laki-lakinya pun meninggal dunia akibat insiden tersebut sehingga Buwaran Binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz naik menjadi Raja, mendengar cerita Tersebut Rasullallah SAW bersabda:
حدحنا محمد ابن المخني حدحنا خالد بن الحازث حدحنا حميد الطول عن الحسن عن أبي بكسة قال عصمني الله بشيء سمعته من زسول الله ملسو هيلع هللا ىلص لما هلك كسسى قال من استخلفوا قالوا ابنته فقال النبي ملسو هيلع هللا ىلص لن وفل قوę لو أمسهم امسأة قال فلما قدمج عائشت وعني البصسة ذكسث قول زسول الله ملسو هيلع هللا ىلص فعصمني الله به 6 قال أبو عيسي
هرا حدوج حسن صحيحز
‘’Muhammad Ibnu al-Mutsanna meriwayatkan kepada kita dari riwayat Khalid Ibnu Harist dari riwayat Hymaid al-Tawil dari al-Hasan dari Abi Bakrah. Dia berkata; Allah SWT telah memeliharaku dengan sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulallah SAW ketika Kisra (Persia) meninggal dunia. Rasulallah SAW bertanya: Siapa yang menggantikanya, lantas para sahabat menjawab: anak perempuanya. Kemudian Rasulallah SAW bersabda Tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan kekuasaan pemerintahanya kepada seorang perempuan.
Abu Bakrah Berkata: ketika pasukanya yang dipimpin Aisyah datang ke Basrah saya teringat sabda Rasulallah SAW ini sehingga AllAh SWT memeliharaku (dari ikut serta dari pasukan Aisyah tersebut). Abu Isya berkata: hadis ini sanadnya baik dan shahih.
Redaksi hadis di atas menjelaskan bahwasanya masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai pemimpin tidak akan sejahtera. Kalimat Lan Yufliha (sekali kali tidak akan beruntung dan atau tidak kan sejahtera). Walaupun ada tiga redaksi berbeda dalam kalimatnya dalam hadis lain seperti, pertama: Wallau amruhum Imra’atan (memberikan kekuasaan pemerintahanya pada perempuan). Kedua, Asnadu amrahum ila imra’atin(menyandarkan urusan pemerintahanya kepada seorang perempuan). Ketiga:Tamlikuhum imra’atun(kekuasaan pemerintahanya dipimpin seorang perempuan). Namun, dari ketiga redaksi tersebut tak berpengaruh dikarenakan pada dasarnya memilki makna yang serupa.7
Kaitanya dengan hadis di atas Jumhur ulama memahami hadis di atas secara tekstual sehingga memberikan pengertian bahwasanya pengangkatan wanita menjadi kepala Negara, hukum pengadilan dan atau berbagai jabatanya yang setara denganya dilarang. Mereka menuturkan kaitanya dengan perempuan secara syara hanya diperbolehakan menjaga harta suaminya.8
Kaitanya dengan kisah Buwaran Binti Syarawaih bin Kisra Bin Barwaiz tersebut diatas berbanding terbalik dengan kisah yang sering kita dengar yang telah tersuratkan dalam kitab suci al-Qur’an kaitanya dengan kepemimpinan perempuan dalam Surah an-Naml kaitanya dengan kisah seorang Ratu Negeri Saba bernama Ratu Bilqis, dijelaskan dalam ayat tersebut perihal kancah percaturan perpolitikanya dengan Nabi Sulaeman. Dikisahkan bagaimana wibawanya sesosok perempuan tersebut memimpin dalam pemerintahan serta bagaimana kalangan para pembesar pemerintahanya senantiasa tunduk dan patuh menaati titahnya, sampai al-Qur’an memberikan ungkapan indah dalam surah An-Naml ayat 34 dengan kalimat berikut :
‘’Dia berkata ‘’Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakanya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat’’.
Dalam perihal kepemimpinan Imam al-Ghazali berpendapat bahwasanya hukum bagi terbentuknya lembaga kepemimpinan seperti halnya pemerintahan adalah wajib syari, dasarnya ialah Ijma Ummat sehingga jatuhnya secara hukum adalah fardu kifayah. Sebab tutur al-Ghazali manusia cenderung berprilaku secara bermasyarakat sehingga mereka mampu saling tolong menolong maupun bekerjasama untuk memenuhi hajat hidup mereka.9 Namun demikian dalam rangka mewujudkan hal tersebut sering terjadi persaingan dan pertentangan sehingga dibutuhkan wadah yang bernama pemerintahan.
Maka wajar saja jikalau al-Ghazali menuturkan bahwasanya hubungan agama dan Negara amat sangatlah penting dikarenakan satu sama lain memiliki hubungan erat, yang mana agama adalah pondasi dan penguasa merupakan penjaganya, sesuatu tanpa pondasi akan runtuh dan suatu pondasi tanpa penjaganya akan hilang. 10
Bergeser sedikit ke tokoh lain bernama Imam Mawardi, beliau menuturkan bahwasanya hukum pengangakatan pemimpin setara pentingnya dengan wajibnya berjihad dan menuntut ilmu yang dalam hal ini fardu Kifayah. Dalam hal ini, jikalau sudah terdapat seseorang yang diangkat menjadi pemimpin maka secara otomatis gugurlah kewajiban yang lain. Namun apabila sebaliknya tidak ada yang mengangkat seseorang untuk dijadikan pemimpjn maka mesti dibentuknya dua kelompok: Pertama: kelompok pemilih yang berwenang memilih pemimpin untuk ummat. Kedua kelompok imamah kepemimpinan yang memiliki mandat mengangkat salah seorang menjadi pemimpin bagi masyarakatnya.Wallahua’lam
Penulis : Taufik Hidayatullah Kontributor Masjidagungciamis.or.id & Tanwir.id Website Tafsir Muhammadiyah Almamater : Universitas Islam Negeri Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat